Embracing The Future Education Challenges

Tantangan pendidikan di masa depan semakin besar seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Contohnya perkembangan artificial intelligence (kecerdasan buatan) yang semakin canggih dengan munculnya ChatGPT.
Teknologi di era sekarang semakin cerdas dan bisa 'melebihi' kepintaran manusia. Tidak hanya memberikan link website seperti selama ini di laman pencarian. ChatGPT bisa membuatkan makalah, memberikan perbandingan, analisa, membuat program sederhana dan beragam kemampuan lainnya.
Hal ini dapat menggantikan peran guru sebagai pengajar. Apalagi teknologi bisa lebih pintar daripada guru. Juga memberikan kemudahan bagi pelajar dan mahasiswa dalam mengerjakan tugas. Proses pembelajaran menjadi kurang menantang karena tugas bisa dikerjakan oleh teknologi. Khawatir akan lahir generasi yang serba instan dan tidak mau bersusah payah. Khawatir akan lahir generasi yang rapuh, kurang tegar dan bermental lemah.
Pada sisi lain, dunia juga menghadapi perubahan iklim karena efek rumah kaca. Penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan mengakibatkan suhu bumi semakin tinggi. Kondisi cuaca yang sulit diprediksi. Bencana alam semakin sering terjadi berupa banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lainnya.
Selain itu juga muncul konflik antar negara seperti perang Rusia dan Ukraina. Kelihatannya akan berkembang menjadi konflik geopolitik antar kawasan. Selain di Eropa juga bisa ke kawasan Asia Timur, selain Timur Tengah dan Afrika yang sebelumnya telah dilanda konflik.
Bagaimana dunia pendidikan menghadapi itu semua? Pertama, dibutuhkan paradigma yang baru. Bukan lagi menghadapi (facing) tapi merangkul (embracing) tantangan. Apa itu merangkul tantangan? Ibaratnya butiran kopi dan air panas. Air panas itu tantangannya. Butiran kopi sebagai pendidikan. Butiran kopi masuk ke air panas bukan menjadikannya lawan tapi kawan. Butiran kopi dan air bersinergi menjadi minuman yang disukai banyak orang. Tentu beda rasanya minum air panas dengan minum kopi panas.
Apa maksudnya? Misalnya terkait teknologi, itu bisa dijadikan sebagai mitra dalam proses pendidikan. Pembelajaran harus dirancang semakin high order thinking, bukan lagi hafalan semata. Tapi membangun proses berfikir kritis, analitis dan kreatif.
Kedua, melihat pendidikan secara utuh. Daniel H. Pink menyebutnya sebagai judul buku yaitu "A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule The Future". Selama ini pendidikan banyak fokus ke otak kiri dengan hafalan dan analitis. Menghadapi masa depan maka pendidikan harus mengembangkan otak kanan.
Apa saja yang harus dikembangkan?
Daniel H. Pink menyebutnya six senses yaitu play, story, meaning, design, empathy, dan symphony. Perkembangan artificial intelligence dipandang masih sulit untuk masuk ke six senses tersebut.
Khusus untuk menghadapi kondisi dunia yang semakin panas secara iklim dan konflik perang maka meaning, empathy dan symphony sangat dibutuhkan. Manusia perlu merenungi secara mendalam apa makna yang ingin dibangun dalam hidupnya di bumi. Tentu ingin menciptakan kehidupan yang damai dan harmoni. Untuk itu harus mampu berempati dengan sesama manusia dan juga dengan alam.
Manusia harus bersahabat dengan orang lain. Juga bersahabat dengan alam. Maka konflik antar negara serta kerusakan lingkungan akan bisa dikurangi bahkan dihindari. Itulah wujud peran manusia sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi ini.
Untuk itu perlu transformasi pendidikan dalam hal paradigma, kurikulum, metode, media, pendidik dan tenaga pendidikan demi merangkul tantangan masa depan pendidikan. Embracing the future education challenges.