Dilema Pilkada

Pemerintah bersama KPU tetap merencanakan akan melaksanakan Pilkada Serentak di 270 kabupaten, kota dan provinsi pada 9 Desember 2020.
Meskipun banyak usulan termasuk dari pak JK, NU, Muhammadiyah, Komnas HAM, dari berita yang beredar Pemerintah tetap akan menjalankan Pilkada serentak dengan membuat protokol kesehatan khusus Pilkada.
Mencermati data Covid-19 yang terus naik dan telah menyentuh angka 4000 an kasus perhari maka wajar saja muncul usulan untuk menunda Pilkada. Apalagi melihat perilaku masyarakat yang sulit untuk disiplin menjaga jarak, memakai masker dan cuci tangan.
Dua pekan lalu kami melakukan perjalanan dari Makassar ke Pinrang. Ada 3 kabupaten yang kami lewati akan melakukan Pilkada pada 9 Desember 2020. Beberapa kali perjalanan kami melambat karena macet. Saya kira itu di pasar atau ada pesta pernikahan. Ternyata bukan. Macet terjadi karena ada banyak orang berkumpul di rumah atau posko salah satu bakal calon bupati.
Bisa dibayangkan belum masa kampanye saja sudah terjadi pengumpulan massa. Apalagi di masa kampanye. Saya amati banyak yang tidak pakai masker. Kalaupun pakai masker, tidak sesuai protokol kesehatan.
Itu masyarakat di daerah. Bagaimana dengan di kota? Apakah ada perbedaan? Ternyata tidak jauh berbeda. Apa buktinya? Senin pagi 21 September 2020 saya ikut acara di Gedung Pola Kantor Gubernur Sulsel. Acara dihadiri Gubernur Sulsel, Walikota Makassar, Kepala LLDikti Wilayah 9, Kepala Dinas Penanaman Modal dan para Rektor dan atau Wakil Rektor Perguruan Tinggi Swasta di Makassar.
Masuk ruangan semua tertata rapih sesuai protokol kesehatan. Jarak antar kursi peserta ibarat siswa mau ujian nasional jaraknya sekitar 1 meter. Saat acara berlangsung dengan sambutan dari Kadis, Gubernur dan Kepala LLDikti semua berjalan dengan tertib.
Keadaan berubah saat sambutan selesai dan para pejabat mulai turun dari panggung. Apa yg terjadi? Beberapa peserta mendekat dan berkumpul dengan pejabat untuk foto bersama. Tentu tetap pakai masker tapi jaga jarak sudah tidak lagi dilakukan.
Daya tarik tokoh dan pejabat terkadang membuat kita tidak rasional lagi dalam bertindak. Lupa semua sama protokol kesehatan. Padahal ini komunitas kampus dan akademisi yang berpendidikan tinggi. Bagaimana dengan rakyat awam yang akan bertemu dengan tokoh calon gubernur, bupati dan walikota. Pasti lebih heboh daripada para akademisi.
Itulah kenyataan dalam perilaku sosial masyarakat kita. Tentu itu sangat rawan bagi penularan Covid-19. Maka wajar saja muncul aspirasi agar pemerintah menunda Pilkada sampai kondisi relatif membaik.
Semoga pemerintah bisa mengambil keputusan yang tepat demi keselamatan jiwa rakyat. Jika memang bisa ditunda, itu lebih baik. Resiko kesehatan bisa dihindari. Jika tetap ingin dilaksanakan karena pertimbangan lain maka perlu aturan yang jelas, tegas dan konsisten.
Aturan khusus tentang pelaksanaan tahapan Pilkada khususnya masa kampanye harus jelas mana yang tidak boleh. Aturan ditegakkan dengan tegas kepada yang melanggar dengan hukuman yang bisa memberi efek jera. Lalu itu dilaksanakan dengan konsisten kepada siapapun.
Tapi jujur saja dari hati yang paling dalam saya berharap semoga Pilkada bisa ditunda. Ini akan lebih aman bagi rakyat dan dapat menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa orang banyak.