image

Hati yang Mati

Penulis : Resmi Chalik, S.Pd. (Guru IPS SMP Islam Athirah 1 Makassar)

Sebuah bangunan hanya akan tegak di atas pondasi yang kuat dan kokoh. Begitu pula agama Islam tidak akan tegak kecuali di atas pondasi ketakwaan dan keimanan yang benar. Seorang mukmin membangun amalnya di atas iman dan keikhlasan sementara orang munafik membangun amalnya di atas kekufuran dan riya’.

Allah berfirman tentang kaum munafik (yang artinya), “Dan sebagian orang ada yang mengatakan ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal mereka bukanlah kaum beriman. Mereka berusaha mengelabui Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka tidaklah mengelabui kecuali dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. Dalam hati mereka terdapat penyakit maka Allah pun tambahkan padanya penyakit yang lain…” (Q.S al-Baqarah : 8-10)

Kerusakan yang menimpa hati kaum munafik inilah yang meruntuhkan segala amal kebaikan yang mereka tampakkan. Yang dimaksud penyakit dalam ayat di atas  adalah keragu-raguan, syubhat dan kemunafikan. Akibat penyakit yang menjangkiti hati inilah orang menolak kebenaran dan menerima kebatilan dan demikian itulah karakter yang melekat pada diri orang-orang munafik. Sementara baik buruknya hati menentukan baik buruknya amalan.

Oleh sebab itu sudah semestinya seorang insan memperhatikan keadaan hatinya; apakah hatinya sehat atau sakit. Apabila hatinya sedang sakit hendaklah dia bersemangat untuk segera mencari obatnya. Apabila hatinya sehat hendaklah dia memuji Allah atas nikmat itu dan memohon kepada-Nya agar tetap tegar di atasnya. Banyak orang berusaha keras untuk mencari obat bagi penyakit fisik sehingga berupaya mencari pengobatan kepada semua dokter yang bisa ditemui. Akan tetapi anehnya banyak orang tidak perhatian terhadap penyakit hati yang bersarang di dalam dirinya. Padahal penyakit hati lebih berat bahayanya dan lebih mematikan daripada penyakit badan

Apabila seorang hamba bisa menyadari hal ini maka dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya musibah yang menimpa hati itu lebih berat dan lebih membahayakan daripada musibah yang menimpa urusan dunia atau badannya. Setiap insan butuh kepada bantuan dan pertolongan Allah di setiap saat dan di mana pun tempat. Dia tidak bisa terlepas dari-Nya walaupun sekejap mata.

Lantas bagaimana mungkin dirinya akan bahagia ketika Allah telah berpaling darinya. Dan hal itu tidaklah terjadi kecuali akibat penyimpangan hatinya sendiri. Maka musibah manakah yang lebih besar daripada hati yang keras dan jauh dari Allah?! Kebanyakan orang beranggapan bahwa musibah yang menyakitkan itu adalah yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah/materi atau keduniaan saja. Padahal sesungguhnya musibah akibat penyakit hati dan rusaknya nurani lebih dahsyat dan lebih mengerikan daripada musibah akibat perkara-perkara dunia. Bahkan tidak sedikit manusia yang berada dalam keadaan hatinya telah mati sampai-sampai tidak bisa lagi merasakan musibah yang menimpa dirinya berupa kefasikan dan kemaksiatan

Hati yang mati adalah hati yang tidak lagi mengenal Allah. Hati yang mati tidak beribadah kepada Allah dengan mengikuti perintah-Nya. Hati yang mati tidak lagi menghamba kepada Allah dengan hal-hal yang diridhai dan dicintai-Nya. Akan tetapi dia justru berhenti tunduk bersama keinginan syahwat dan kesenangannya walaupun hal itu mengakibatkan murka dan kemarahan Allah. Dia tidak lagi peduli apakah Allah ridha atau tidak, yang penting baginya segala keinginan dan ambisinya terpenuhi. Oleh sebab itu sebenarnya dia telah menghamba kepada selain Allah. Cintanya, takutnya, harapnya, ridha dan murkanya, pengagungan dan penghinaan dirinya dia persembahkan kepada selain Allah. Apabila dia mencintai maka hal itu murni karena dorongan hawa nafsunya. Apabila membenci maka hal itu pun semata-mata karena memperturutkan hawa nafsu belaka. Begitu pula ketika memberi atau tidak memberi; semuanya karena motivasi hawa nafsu, maka hawa nafsu lebih dia utamakan di atas keridhaan Allah.

Sesungguhnya ilmu merupakan makanan, minuman sekaligus obat bagi hati. Apabila hati kehilangan ilmu ia pun menjadi mati. Ilmu tentang Allah merupakan pokok dari seluruh ilmu dan tempat tumbuhnya ilmu-ilmu itu. Barang siapa mengenal Allah niscaya dia akan mengenali hal-hal selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah maka Allah pun membuat mereka lupa terhadap dirinya sendiri.” (Q.S Al-Hasyr : 19).

Menurut Imam Ibnu Katsir  maksud ayat ini adalah ‘jangan kalian melupakan dzikir  kepada Allah karena hal itu menjadi sebab Allah membuat kalian lupa dari melakukan amal salih untuk kebaikan kalian di negeri akhirat’. Karena sesungguhnya balasan itu sejenis dengan amalan. Apabila amalannya ‘melupakan’ balasannya juga ‘dilupakan’. Oleh sebab itulah para ulama menggambarkan kebutuhan hati kepada dzikir seperti kebutuhan seekor ikan kepada air. Sebagaimana ikan menjadi mati ketika tidak ada air, begitu pula hati akan mati ketika lenyap dari dzikir. Oleh karenanya marilah kita senantiasa mengingat Allah dengan memperbanyak dzikir. Dengan mengenal Allah, maka seorang hamba akan dapat membangun kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat.


Editor : Hasniwati Ajis (Tim Web SMP Islam Athirah 1 Makassar)

Previous PostSmart Student Competition 2021, Siswi SMP Islam Athirah Bone Sabet 2 Medali
Next PostSMP Islam Athirah Bone Raih Perak Olimpiade Matematika Nasional Jenius Sains Competition 2021