
AL QUR’AN BERBICARA TENTANG BANJIR
Oleh
: Wahyudin Agustia Putra, S.Pd.I
(Kepala Asrama Boarding School Athirah BB)
Alquran juga menceritakan tentang bencana yang
menimpa umat-umat terdahulu akibat kesombongan dan keingkaran mereka. Hampir
seluruh cerita mengenai bencana yang diceritakan Alquran menyangkut azab
terhadap umat-umat yang sombong dan ingkar atau karena melakukan perbuatan
buruk yang melampaui batas.
Banjir adalah genangan atau aliran air di atas
daratan yang tidak biasanya tergenang air. Banjir umumnya disebabkan oleh
meluapnya air melalui tepian suatu badan air seperti sungai atau danau sehingga
menggenangi atau mengalir di luar batas-batas biasanya
Sedangkan fluktuasi luapan sungai atau volume danau
musiman, yang biasanya disebabkan oleh variasi hujan atau pencairan salju,
biasanya bukanlah banjir yang membahayakan kecuali luapan air tersebut
membahayakan atau merusak lahan, permukiman, atau ladang-ladang pertanian yang
dipakai manusia.
Banjir seringkali menyebabkan kerusakan atau
kerugian yang besar apabila menerjang daerah permukiman yang terletak di
dataran rendah yang berpeluang banjir. Sebenarnya kerugian akibat banjir bisa
dihindari apabila dataran banjir tersebut ditinggalkan atau tidak dihuni.
Hanya saja, sejak dahulu manusia memang senang
tinggal di dekat perairan karena mudah mendapatkan air, menggunakannya untuk
sarana irigasi dan transportasi, bahkan untuk tempat berdagang. Pada saat ini
lebih disadari bahwa tinggal terlalu dekat dengan badan air, apalagi yang
memiliki fluktuasi luah yang besar, sangat berbahaya mengingat adanya ancaman
banjir sewaktu-waktu.
Alquran menceritakan banjir terbesar sepanjang
sejarah manusia yang terjadi pada zaman Nabi Nuh. Banjir tersebut
menenggelamkan dan menghapus semua peradaban manusia saat itu. Besarnya banjir
Nabi Nuh dilukiskan dengan tergenangnya permukaan bumi dan tenggelamnya
gunung-gunung yang berlangsung dalam waktu yang lama, dengan air yang jatuh
dari langit maupun yang memancar dari dalam bumi.
"Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan
(menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata
air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan
(bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang
terbuat dari papan dan pasak. (al-Qamar ayat 11-13).
Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk menaikkan
ke atas perahu pasangan-pasangan dari setiap spesies, jantan dan betina, serta
keluarganya. Seluruh manusia di daratan tersebut ditenggelamkan ke dalam air,
termasuk anak lakilaki Nabi Nuh yang semula berpikir bahwa dia bisa selamat
dengan mengungsi ke sebuah gunung yang dekat.
Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari
perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh)
berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain
Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya;
maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan. (Surah Hud ayat 43).
Semuanya tenggelam kecuali yang dimuat di dalam
perahu bersama Nabi Nuh. Ketika air surut di akhir banjir tersebut, dan
kejadian telah berakhir, perahu terdampar di Judi, yaitu sebuah tempat yang
tinggi, sebagaimana yang diinformasikan oleh Al-Qur’an kepada kita.
Banjir lainnya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an adalah
banjir bandang yang menimpa kaum Saba'. Banjir terjadi karena bobolnya
bendungan yang pada awalnya dipakai sebagai sumber air dan sarana irigasi
pertanian kaum tersebut.
Salah seorang Ratu kaum Saba', Ratu Bilqis, beriman
kepada Allah melalui Nabi Sulaiman dan menjadi istri Nabi Sulaiman. Bangsa ini
memiliki kebudayaan yang cukup tinggi pada masanya dan memiliki angkatan perang
yang kuat.
Selepas masa Ratu Bilqis, kaum Saba' kembali ingkar
kepada Allah sehingga Allah menghukum mereka dengan mendatangkan banjir.
Lahan-lahan pertanian kaum Saba' yang tadinya subur, hancur tersapu banjir.
Setelah kejadian banjir tersebut lahan-lahan pertanian tidak dapat lagi
ditumbuhi tanaman, kecuali tumbuhan liar yang tidak berguna.
Dari kisah di atasa, banjir merupakan ujian bahkan
bisa menjadi musibah dan azab. Instropeksi diri adalah jalan yang harus di
lakukan dan menjadikan musibah ini sebagai bentuk ujian yang akan menghantarkan
kita kepada kemuliaan dan kejayaan di akherat kelak. Dengan modal ikhlas,
syukur, dan bersabar insyaallah derjat taqwa akan kita dapatkan. Allahu a’lam