image

Bahasa Arab dan Islamophobia

Penulis : Andi Hasanuddin,Lc. (Guru PAI SMP Islam Athirah 1 Makassar)

Beberapa pekan lalu, publik Muslim Indonesia kembali dibuat gempar dengan statement ngawur dari seorang ibu yang berprofesi sebagai pengamat dalam dunia intelejen dan militer. Dia mengatakan bahwa memperbanyak penggunaan bahasa Arab adalah pintu radikalisme dan terorisme. Sungguh naif. Sebenarnya, Ini bukan kali pertama ada statement nyeleneh yang mengaitkan bahasa Arab dengan aksi terorisme di Indonesia. Sebelumnya, mantan Menteri Agama juga mengatakan hal yang semakna.

Sungguh lucu dan aneh jika mengaitkan bahasa Arab dengan radikalisme. Sebab, kosa kata bahasa Indonesia sendiri banyak serapan dari bahasa Arab, ada yang diserap utuh secara lafaz dan makna dan ada pula yang diserap sebagiannya saja. Bahkan ‘ajibnya lagi, sebagian kosa kata serapan itu masuk ke dalam redaksi teks pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara kita tercinta. Sebagai contoh, pada sila kedua dan kelima, ada kata “adil” yang dalam bahasa Arab juga dengan kata yang sama, pada sila keempat dan kelima, ada kata “rakyat” atau ro’iyyah menurut sumber serapannya. Selanjutnya masih pada sila keempat, ada kata “hikmat" (hikmah), “musyawarah”  dan “wakil” (wakiil).

Bahasa Arab memang tidak bisa dipisahkan dari lingkungan kita di negeri tercinta ini, lihatlah istilah-istilah yang melekat kuat dan menjadi simbol di tataran pemerintahan kita. Di Parlemen, ada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), ada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan ada juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Semua istilah tersebut merupakan serapan dari bahasa Arab.

Jika diteliti lebih dalam, tuduhan dan framing negatif ini adalah bagian dari gerakan Islamophobia yang marak terjadi di negara yang minoritas muslim. Tapi yang sedikit aneh, karena ini terjadi di negara mayoritas berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dan nampaknya gejala Islamophobia ini memang tumbuh subur sejak beberapa tahun belakangan. Tapi inilah realita yang terjadi di hadapan kita dan sebagai Muslim yang baik, kita harus menolak tuduhan tersebut dan mengkritisinya, karena bukan berdasarkan fakta dan realita, melainkan asumsi belaka.

Tuduhan radikalisme dan terorisme memang tidak diarahkan secara langsung kepada Islam dan ajarannya, tidak pula dialamatkan secara gamblang kepada Al-Qur’an dan hadis Rasulullah shallallaahu ‘alaihiwasallam, namun hujatan itu mereka arahkan kepada bahasa yang digunakan oleh sumber primer agama Islam tersebut. Ya, tuduhan yang tidak langsung tapi menembus jantung, karena ia bagian dari agama ini, ia seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dengarlah nasihat bijak Umar ibn al-Khattab –radhiyallahu ‘anhu- : “Belajarlah kalian bahasa Arab, karena ia bagian dari agama kalian.”

Secara historis, gerakan Islamophobia sudah ada sejak kurun awal kedatangan Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihiwasallam mengawali dakwahnya secara terang-terangan (al-Dakwah bi al-jahr), banyak kaum kuffaaru Quraisy yang menentang dakwah tauhid yang disampaikan oleh beliau, bukan hanya menentang, tetapi juga mempropagandakan dan memframing negatif ajaran Islam dan pribadi Rasulullah agar orang-orang menjauh darinya.

Di sana ada Abu Jahl, pria yang bernama asli Amr ibn Hisyam ibn Mughirah, yang digelari oleh kaumnya dengan panggilan Abu al-Hakam (bapak yang bijaksana), kebenciannya kepada Rasulullah dan ajaran Islam yang dibawanya begitu dalam, bukan karena kejahilan atau kebodohannya terhadap kebenaran Islam, tetapi karena fanatisme kesukuan yang membuat dia iri dan hasad terhadap derajat nubuwwah yang dimiliki oleh Rasul, sehingga Rasulullah pun mengganti nama Abu al-Hakam menjadi Abu Jahl (Bapak yang bodoh).

Selain Abu Jahl, ada juga al-Walid ibn al-Mughiroh al-Makhzumi. Salah satu penyair handal yang begitu dihormati oleh masyarakat Quraisy, dia masih satu klan dengan Abu Jahl, yaitu dari Bani Makhzum. Kelihaiannya dalam bersyair dia gunakan untuk ikut dalam frekuensi narasi kebencian yang dipancarkan oleh Abu Jahl. Walau secara pribadi berdasar kecerdasannya, dia telah mengetahui hakikat kebenaran ajaran Al-Qur’an sebagaimana dituturkan sendiri olehnya ketika diprospek keburukan oleh Abu Jahl:

Apa menurutmu yang harus kukatakan pada mereka? Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah kalian orang yang lebih memahami syair Arab selain aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidahnya yang mengungguli diriku. Tapi apa yang diucapkan Muhammad itu tidak serupa dengan ini semua. Juga bukan syair jin. Demi Allah! Apa yang diucapkan oleh Muhammad (dari Al-Qur’an) itu tidak dapat diserupakan dengan sembarang syair pun.“Demi Allah! Kata-katanya ini manis didengar, indah diucapkan, puncaknya menimbulkan buah, dasarnya memancarkan kesuburan. Perkataan ini begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada di bawahnya.”

Tapi bukan Abu Jahl jika tidak ngotot dalam kejahatan, ia tidak rela jika penyair handal itu berpihak pada kebenaran Islam. Maka berbagai trik dilakukannya agar ia berafiliasi kepadanya. Dan usahanya tersebut ternyata membuahkan hasil. Al-Walid ibn al-Mughiroh secara membabibuta menarasikan Al-Qur’an sebagai hasil belajar Nabi Muhammad dari tukang sihir. Secara kontan, Allah subhanahuwata’ala membela rasul-Nya dan mengancam pembencinya sebagaimana termaktub di dalam surah Al-Muddatstsir ayat 11-29. 

Setali tiga uang dengan para pegiat Islamophobia di atas. Bedanya, mereka belum berani secara langsung memframing negatif Al-Qur’an sebagaimana yang telah dilakukan oleh senior mereka, al-Walid ibn al-Mughirah dan gengnya. Tapi, sebagai insan yang beriman, kita harus mengambil hikmah dari setiap kejadian. Karena, kata Rasulullah hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman, maka dimana pun kita mendapatinya, kita harus memungutnya. Semoga motivasi umat Islam bisa tumbuh untuk mempelajari bahasa agamanya yang mulia ini, bahasa Rasulullah yang mulia dan para generasi terbaik dari umat ini, bahasa Al-Qur’an yang mulia dan bahasa orang-orang yang dimuliakan oleh Allah dengan surga kelak. Amin.

Wallahu’ A’lam


Editor : Hasniwati Ajis (Tim Web SMP Islam Athirah 1 Makassar)




Previous PostTerus Berprestasi, Siswi SD Islam Athirah 2 Makassar Raih Medali Perunggu di Ajang IYSC Bidang Matematika
Next PostSENAM PAGI BERSAMA DIREKTUR SEKOLAH ISLAM ATHIRAH