Seikatsu Kaizen (Reformasi Pola Hidup Jepang)
Judul : Seikatsu Kaizen (Reformasi Pola Hidup Jepang)
Panduan Menjadi Masyarakat Unggul dan Modern
Penulis : Susy Ong
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Tahun Terbit : 2017
Pada abad ke 3, Orang-orang Jepang mulai berinteraksi dengan orang-orang dari daratan Tiongkok dan semenanjung Korea yang memperkenalkan teknologi bercocok tanam padi. Pangeran shotoku mengirim utusan ke Tiongkok, tercantum kata-kata “ dari penguasa di negara matahari terbit kepada penguasa di negara matahari terbenam”. Maksud kata-kata itu adalah dikarenakan letak posisi Jepang yang berada di sebelah timur Tiongkok (arah matahari terbit)
Penguasa Jepang mengirim delegasi ke Tiongkok untuk mempelajari tulisan (huruf), sistem pemerintahan, budaya, dan teknologi. Orang Jepang mulai mencerna dan “men-jepang-kan” budaya Tiongkok, sehingga terbentulah budaya Jepang. Pada Abad ke 10, Penguasa Jepang menghentikan pengiriman pelajar ke Tiongkok, namun perdagangan di Jepang barat. Jepang mengekspor produk tambang berupa emas, perak, tembaga dan mengimpor buku, tekstil, obat-obatan dan sebagainya dari Tiongkok.
Awal Pendisiplinan Jepang yaitu pada saat Jepang merasa masih sangat terbelakang dalam hal industri dan kualitas SDM. Sehingga mulai berinteraksi dengan negara-negara Barat. Oleh karena itu, Jepang melakukan Misi Iwakura yaitu mengunjungi pabrik, sekolah, pelabuhan, dan kantor pemerintahan, serta bertemu dengan para pemimpin dari negara Barat seperti Amerika dan 11 negara di Eropa. Jepang mencontoh negara-negara Barat dan menerapkan sistem wajib belajar demi meningkatkan kualitas SDM. Kualitas SDM yang baik dapat mendukung kemajuan industri dan pembangunan militer akan berhasil.
Sebagai tindak lanjut dari Misi Iwakura, Pemerintah Jepang bekerja sama dengan para tokoh masyarakat ( cendekiawan yang berpendidikan Barat) melakukan serangkaian kampanye nasional untuk meningkatkan kualitas SDM Jepang, dari malas, santai, tidak disiplin, teledor, apatis, dan boros, menjadi rajin, hemat, disiplin, teliti, dan antusias untuk maju. Beberapa tokoh masyarakat Jepang terkesan dengan kedisiplinan masyarakat barat, sehingga mereka membentuk Asosiasi Reformasi Pola Hidup Jepang yang diketuai Dohi Masataka.
Adat tradisional Jepang mulai di reformasi. Menurut Dohi Masataka, Pada masa itu Jepang memiliki beberapa adat istiadat yang buruk seperti, rakyat dan pemerintahan tidak kompak, Jepang sangat meremehkan perempuan, dengki dan iri sesama anggota masyarakat, Menunggak pajak dan uang sekolah anak-anak mereka, terobsesi dengan semua hal yang berbau Barat, Berbicara dengan dialek daerah masing-masing (Tidak ada keseragaman, bergantung pada pihak lain, kurang ambisi dan selalu mencari alasan, tidak menghargai waktu, boros, banyak gengsi dan basa-basi, serta pelacuran yang dilegalkan. Perubahan adat dilakukan dalam jangka waktu lama, namun perubahan terjadi tanpa disadari. Hal yang paling penting, kerja nyata bukan hanya berargumentasi.
Kampanye tentang reformasi pola hidup terus berlanjut sesuai zamannya. Selain itu pemerintahan “memanfaatkan” ajaran agama demi memacu modernisasi, sehingga masyarakat membutuhkan agama yang dapat memberikan semangat positif bagi kehidupan duniawi dan mendukung kemajuan negara. Serta membutuhkan panutan, sehingga peerintah Jepang memasukkan 13 prinsip hidup franklin di dalam buku pelajaran moral untuk SD yaitu, hidup sederhana, tidak bicara jika tidak perlu, bertindak adil, tulus, rajin, hemat, tegas, bekerja dan hidup sesuai jadwal, rendah hati, tidak terbawa emosi, berpegang pada prinsip, menjaga kebersihan, bertindak moderat (tidak ekstrem).
Pada tahun 1933, kepala kepolisian dan pejabat tinggi di kementrian dalam negeri serta pengusaha besar (sebagai donatur) mendirikan Federasi Budaya Jepang (Nihon Bunka Renmei). Lalu Federasi tersebut melakukan sejumlah kegiatan kampanye nasional “budaya Jepang” seperti ceramah, forum diskusi, pelatihan kerja di pabrik, pembinaan koperasi, pemutaran film, pembagian pamflet, penerbitan buku, dan sebagainya untuk mensosialisasikan makna “budaya Jepang”. Selain itu Jepang juga mendiplomasikan melalui majalah “ Cultural Nippon” bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, bangsa Jepang wajib menjadi panutan bagi bangsa-bangsa Asia lainnya.
Untuk menjaga etiket (tata masyarakat Jepang, dibentuk panitia penyelidikan etiket nasional dan menyusun buku pedoman etiket (tata krama) untuk disosialisasikan kepada masyarakat luas. Buku pedoman etiket tersebut kemudian di revisi dan diterbitkan pada tahun 1941. Dalam buku tersebut dicantumkan etiket (tata krama) dalam kehidupan sehari-hari lengap dengan gambar ilustrasi, misalnya tata cara duduk, berdiri, memberi hormat, makan dan sebagainya.
Efisiensi merupakan pedoman hidup bangsa Jepang, jika Jepang ingin maju. Hal ini dikemukakan oleh Ueno yaitu salah satu tokoh yang mengkampanyekan peningkatan efisiensi di Jepang. Selain itu ada Araki Toichiro sebagai pelopor profesi konsultan manajemen Jepang. Berkat ilmu manajemen yang diserap dari Amerika yang dipraktikan oleh pengelola perusahaan, dibantu oleh konsultan manajeme dapat meningkatkan efisiensi kerja dan produksi. Setelah industri manufaktur bangkit kembali, muncul istilah monozukuri, yang secara harfiah berarti “membuat barang” dengan kualitas prima.
Pada tahun 1950-an sampai 1970-an, perlahan-lahan kampanye tentang reformasi pola hidup Jepang hampir tidak dibahas. Hal ini dikarenakan sudah dianggap lumrah oleh masyarakat Jepang. Hampir semua masyarakat menjalankan reformasi pola hidup tanpa resistensi, serta tidak ada kekuatan politik dan kekuatan sosial yang mampu menghalangi kebijakan pemerintah tersebut.
Musyorafah,S.S.
NIK. 529/SIA.513
SMP Islam Athirah 1 Makassar