Ujian Harga Diri
Hari ini siswa SD se Indonesia sedang mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional. Soalnya dibuat oleh Dinas Pendidikan Kabupaten atau Kota dengan kisi kisi dari pusat. Jadi soal yang sama akan didapatkan oleh siswa SD di kabupaten atau kota yang sama.
UASBN dan juga UN ini tidak ada pengaruh kepada kelulusan siswa. Sejak beberapa tahun yang lalu penentuan kelulusan siswa SD diserahkan kepada sekolah. Apalagi dengan program wajib belajar 9 tahun maka 'seharusnya' tidak ada siswa yang tidak lulus SD.
Untuk lanjut ke SMP dengan sistem zonasi sekarang ini maka nilai UASBN dan UN juga tidak terlalu menentukan. Jadi apa dong fungsinya pemerintah tetap mengadakan UASBN dan UN?
Fungsi UASBN dan UN adalah untuk pemetaan mutu hasil belajar di suatu kabupaten dan kota. Dengan soal yang sama maka dapat terlihat di kecamatan dan sekolah mana yang terbaik mutunya. Juga tentu dapat menggambarkan di kecamatan dan sekolah mana yang paling rendah mutunya.
Setelah pemetaan maka akan ditindaklanjuti dengan program pemerataan dan peningkatan mutu. Sekolah yang kategori mutu rendah akan diperhatikan bantuan khusus untuk peningkatan mutu guru, sarana prasarana, manajemen dan lain sebagainya. Harapannya mutu proses belajar dapat meningkat sehingga hasil belajar juga naik.
Namun ada yang aneh dari pelaksanaan UASBN setiap tahunnya. Seorang kepala sekolah SD bercerita saat ada rapat dan briefing dari kecamatan. Pejabat tingkat kecamatan jarang yang menganjurkan untuk melaksanakan ujian sesuai SOP yaitu pengawasan yang ketat sehingga ujian berlangsung dengan jujur dan nilai yang diperoleh oleh siswa merupakan nilai yang sebenarnya.
Malah dipesankan agar pengawasannya berjalan dengan longgar sehingga ada celah dan kesempatan bagi siswa untuk kerja sama. Tidak hanya itu. Bahkan saat Lembar Jawaban Komputer (LJK) hasil kerja siswa sudah terkumpul maka panitia masih ada yang memperbaiki jawaban siswa. Tujuannya agar nilainya bagus.
Mengapa ingin nilainya bagus? Bagi kecamatan nilai yang rendah berarti suatu musibah dan menjatuhkan harga diri. Nilai yang tinggi akan menjadi kebanggaan dan menaikkan citra dan prestise di mata atasan. Meskipun bukan nilai asli itu tidak peduli. Yang penting tidak memalukan dan ada kebanggaan meskipun semu.
Itulah paradoks di dunia pendidikan. Ujian bukan lagi untuk mengukur hasil belajar siswa tapi mengukur harga diri sekolah dan pejabat di dunia pendidikan. Akibatnya secara jangka pendek memang seolah-olah positif. Tapi di jangka panjang itu merusak siswa dan sistem pendidikan.
Siswa rusak karena diberi contoh ketidakjujuran secara terbuka. Akhirnya akan lahir generasi yang ingin serba instan, mau sukses tapi tidak mau kerja keras. Lebih parah lagi berpeluang melahirkan calon calon koruptor di masa datang.
Sistem rusak karena peta mutu pendidikan yang dihasilkan tidak sesuai kondisi yang sebenarnya. Ibarat orang yang sakit tapi hasil diagnosis cek darah dan general check up nya sehat. Bisa berbahaya dan akhirnya sakitnya tambah parah.
Semoga UASBN tahun ini tidak seperti itu lagi. Jika tidak ada perubahan mungkin memang sudah harus dievaluasi total apa masih perlu diadakan UASBN dan UN.